Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘My Qur’an’ Category

Hari ini tepat tanggal 30 Dzulhijjah 1430 H. Insya Allah selepas maghrib nanti akan masuk ke tahun yang baru yaitu 1431 Hijriyah. Yah, benar kita telah memasuki tahun yang baru. Seluruh jamaah haji di Mekkah telah menyelesaikan seluruh rukun haji, sebagian jamaah Indonesia telah sampai kembali ke tanah air, sebagian lagi mungkin masih di sana menunggu waktu untuk kembali ke Indonesia.

Firman Allah :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran : 190 – 191)

Siang dan malam berganti, adalah sebuah keniscayaan, sebuah sunnatullah yang tidak mungkin akan diingkari oleh siapapun. Manusia, sadar atau tidak sadar akan terus mengikuti pergerakan waktu yang terus berjalan menuju sebuah titik, to the point of no return.

Tinggal kita mengingat kembali, apa yang telah kita perbuat di tahun 1430 yang akan segera berlalu, kemudian, apakah yang akan terjadi di tahun 1431 yang akan segera datang ini. Sungguh, kita bisa berkata, telah ribuan peristiwa terjadi di 1430 dan akan segera menjadi kenangan. Dan mungkin jutaan peristiwa akan terjadi di 1431 ini, kita tidak tahu. Sebagaimana ayat Quran di atas, tanda-tanda atas perjalanan waktu hanya bisa dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang berakal. Yaitu orang yang senantiasa mengingat Allah, dzikrullah atas segala kebesaran ciptaan-Nya. Adakah kita termasuk orang-orang yang berakal tersebut? Waallahu a’lam. Namun tak henti kita berupaya dan berharap agar kebaikan demi kebaikan yang akan dapat kita raih di tahun yang akan datang ini. Semoga Allah senantias membimbing kita ke jalan yang di-ridhoi-nya.

Selamat datang 1431 H….kami menyambutmu dengan segenap suka cita dan harapan…

Wassalam,

Anto_Medan

Read Full Post »

JAHE, Minuman Surga

wedang-jahe1

Di dalam surga, mereka diberi segelas minuman yang campurannya adalah jahe.” (QS Ad-Dahr 17)

 

Bagi kita yang hidup di Indonesia, rempah-rempah yang disebut jahe ini tentu sudah tidak asing lagi. Di samping lazim sebagai bumbu masak, sari jahe jika diseduh dengan air panas dan ditambah dengan sedikit pemanis, maka jadilah minuman yang sedap dan menghangatkan.

Tentu, akar rimpang yang tercatat dalam Al-Qur’an dan disebut “minuman surga” ini diminati bukan hanya karena kelezatannya. Lebih dari itu, Allah Subhana Wa Ta’ala telah menciptakan jahe sebagai rempah kaya akan kandungan kimia yang bermanfaat bagi nutrisi dan obat-obatan.

Para ulama sudah mengenal sejak lama bahwa jahe bisa digunakan sebagai obat beberapa penyakit. Dalam Al-Adab As Syar’iyah (3/28), Ibnu Muflih al Hanbali (763 H) menjelaskan bahwa rempah-rempah yang populer di dunia Arab dengan sebutan zanjabil ini bisa menghilangkan gangguan pencernaan yang disebabkan jumlah udara gas yang berlebihan dalam perut. Selain itu juga mengurangi resiko yang disebabkan makan beku dan kenyal, serta membantu memudahkan proses pencernaan.

Pandangan para ulama itu juga diakui oleh dunia farmasi modern. Dalam British Journal of Anaesthesia vol.84 (2006) disebutkan bahwa untuk mengatasi mual dan muntah, jahe bisa diandalkan. Karena jahe mampu mem-blok serotonim, yakni senyawa yang menyebabkan perut berkontraksi. Juga kandungan gingerols yang ada dalam jahe bisa digunakan sebagai peringan rasa sakit.

Bahkan dalam British Journal of  Nutrition vol.96 (2006), beberapa ahli biologi Universitas Kuwait menjelaskan hasil percobaan mereka. Hasilnya, rempah-rempah yang memiliki nama latin Zingiber offcinale ini amt bermanfaat bagi penderita penyakit diabetes melitus, karena bisa menurunkan glukosa, kolesterol dan kadar protein dalam air seni secara signifikan.

Secara ilmiah juga,  jahe terbukti mampu melawan bakteri escherichia coli, penyebab penyakit diare, yang telah dibuktikan beberapa ilmuwan dari Departemen Mikrobiologi China, yang dimuat dalam Jurnal Agricultural and Food Chemistry, vol 55 (2007).

Dalam tradisi pengobatan herbal di negeri ini, jahe yang dilumatkan sering digunakan sebagai pertolongan pertama terhadap luka akibat gigitan ular berbisa. Walhasil Allah Subhana wa Ta’ala telah memberikan banyak nikmat dan manfaat kepada manusia lewat rempah ini. *Thoriq/Suara Hidayatullah

Dikutip dari Majalah Hidayatullah edisi 12 April 2009

 

Read Full Post »

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Tulisan di bawah adalah tulisan yang sangat berbobot, setidaknya menurut pandanganku. Mengena langsung kepada dunia yang sedang kita hadapi sekarang, dalam mana kita melihat banyak orang, yang banyak dijuluki intelektual muslim, cendekiawan muslim, pemikir muslim, atau pembaharu muslim, dan macam-macam gelaran lainnya. Namun kita mesti lebih teliti lagi dalam menyikapi propaganda-propaganda dari orang-orang sejenis mereka ini, karena bisa jadi propaganda-propaganda yang sepertinya mengusung sebuah intelektualitas, ternyata menjadi propaganda yang menyesatkan. Aku yakin, kita semua sadar bahwa Rasulullah adalah teladan terbaik bagi ummat Islam ini, jadi kita akan lebih baik dan lebih selamat bila mengikuti sunnah-sunnah nya yang telah diwariskn oleh beliau kepada para sahabatnya dan turun temurun dijalani dengan baik oleh para penerusnya dari golongan Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan orang-orang yang dengan konsisten mengikuti dan menegakkan sunnah-sunnah Rasulullah.

Wassalam,

Anto_Medan

 

 

Intelektual Kebablasan

Written by Redaksi Belajar Islam Sunday, 12 July 2009 01:18

overwhelmed

 

Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya The Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis atau pun pengabdian padanya.

Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (QS. Al Kahfi: 50). Iblis tercipta dari api. Firman ? yang artinya, “Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al Hijr: 27). Sebagaimana diketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheis? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya.

Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah ?, sebagaimana orang tua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.

Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission (Pengetahuan dan pengakuan harus diikuti oleh penghargaan dan ketundukan),” tegas Profesor Naquib al-Attas.

Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS Al Baqarah:34, Al Hijr: 31, Thoha: 116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS Al Baqarah: 34, Shad: 73, Shad: 75), dan melawan perintah Allah (fasaqa ‘an amri rabbihi, QS Al Kahfi: 50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.

Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara. “Dan perdayalah siapa saja di antara mereka yang engkau (Iblis) sanggup dengan suaramu (yang memukau), kerahkanlah pasukanmu terhadap mereka, yang berkuda yang berjalan kaki, dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah kepada mereka. Padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.” Demikian difirmankan oleh Allah kepada Iblis dalam QS. Al Isra’: 64.

Maka Iblis pun bertekad, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian pasti akan aku datangi mereka dari depan, dari belakang, kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS Al A’raf:16-17).

Maksudnya, menurut Ibnu Abbas ?, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, hlm. 190).

Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut.

Pertama, selalu membangkang dan membantah (QS. Al An’am: 121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zhulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).

Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan akidah Islamnya.

Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi, al-‘Aqa’id, dalam Majmu’ min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).

Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arogan). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi ? yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang hak dan meremehkan orang lain.” Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi ? dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya. Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis. Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (QS. Al Baqarah: 14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’).

Intelektual semacam inilah yang diancam Allah ? dalam al-Qur’an, “Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Kalau pun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku) mereka tetap tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya.” (QS. Al A’raf: 146).

Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.

Sebaliknya, yang hak digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Atau pun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh. Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengusung gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (Qs. Al Baqarah: 62 dan QS. Al Maidah: 69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bil-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut.

Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah Ali Imran: 71, “Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan kamu menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?”

Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim. Watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga setan (syaithan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (QS. Yusuf: 5, Al Isra’: 53 dan Fatir: 6).

Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudhillu) orang. Setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbath), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).

Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktikan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’ asy-syaithan (QS. An-Nisa’: 76), ikhwan asy-syaithan (QS. Ali ‘Imran: 175), hizb asy-syaithan (QS. Al Mujadilah: 19) dan junudu Iblis (QS. Asy-Syu’ara: 94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.

Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’aun dan ada Musa ?. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taimiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya. Al-Qur’an pun telah mensinyalir, “Dan di antara manusia, ada yang berbantahan tentang Allah tanpa Allah dan hanya mengikuti para setan yang sangat jahat. (Tentang setan) telah ditetapkan bahwa siapa yang berkawan dengan dia, maka dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka.” (QS. Al Hajj: 3-4).

Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa “Sesungguhnya setan-setan itu akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentulah kamu akan menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. al An’am: 121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau menutup pintu ijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab.

Wallahu a’laa wa a’lam.

Disadur dari “Diabolisme Intektual” karya Dr. Syamsuddin Arif, dengan beberapa perubahan dari redaksi (Al Fikrah No.22/Tahun X/17 Radjab 1430 H) Sumber : wahdah.or.id

Read Full Post »

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Tadi malam saya membaca dan men-tadhabur surat Thaha, kebetulan ada kisah yang membuat aku ingin tahu lebih dalam. Yaitu tentang pengkhianatan Samiri, seorang dari Bani Israil yang telah diselamatkan oleh Allah melalui perantaraan Nabi Musa AS, namun kemudian Samiri menjerumuskan sebagian Bani Israil kembali ke lembah penyembahan berhala.

Wassalam,

Anto_Medan

 

 

Samiri dan Patung Anak Lembu

Samiri

Dalam Al-Qur’an, diceritakan bahwa setelah Nabi Musa AS bersama umatnya (Bani Israil) keluar dari Mesir dengan menyeberangi Laut Merah dari kejaran Firaun, Nabi Musa kemudian pergi ke sebuah bukit untuk bertemu dengan Allah Subhana Wa Ta’ala.

Umatnya yang ditinggalkan bersama dengan Nabi Harun ‘alaihissalam lantas merasa kepergian Musa terlalu lama. Karena itu, mereka kemudian meminta Nabi Harun ‘alaihissalam untuk membuat sesuatu sebagai sesembahan mereka. Nabi Harun ‘alaihissalam menolak permintaan Bani Israil ini. Namun, Nabi Harun tak kuasa melawan desakan kaumnya yang terus memaksakan diri untuk membuat sebuah patung sebagai sesembahan. Hingga akhirnya, melalui sebuah pengkhianatan salah seorang pengikutnya, yaitu Samiri, Bani Israil berhasil membuat sebuah patung berupa anak lembu (sapi). Patung anak lembu itu terbuat dari emas.

Ketika keluar dari Mesir, banyak kaum Bani Israil yang membawa perhiasan mereka. Perhiasan-perhiasan itu kemudian dibakar hingga meleleh, lalu oleh Samiri dibuat patung anak lembu.Ketika Musa kembali, dia sangat kaget melihat perilaku umatnya itu. Musa pun marah. Cerita ini selengkapnya dapat dilihat pada surah Thaha ayat 85-98 dan al-A’raf ayat 148-154.

Patung anak lembu

Samiri adalah salah seorang umat Nabi Musa ‘alaihissalam yang berasal dari suku Assamirah. Ulah dan perbuatan Samiri inilah yang menyebabkan umat Nabi Musa tersesat dan menyembah berhala (patung anak lembu).

Ketika keluar dari Mesir, umat Nabi Musa membawa banyak perhiasan. Perhiasan yang dibawa itu diperintahkan Samiri untuk dilemparkan ke dalam api yang telah dinyalakan dalam sebuah lubang untuk dijadikan ‘tuhan’ dalam bentuk anak lembu.

Patung yang dibuat oleh Samiri ini konon bisa melenguh (bersuara) apabila angin masuk ke dalamnya. Menurut pendapat lain, patung anak lembu ini bisa bersuara karena genggaman tanah yang diambil Samiri dari jejak utusan (Jibril) sehingga membuatnya bisa melenguh.

Kendati perbuatan mereka ini sudah ditentang oleh Nabi Harun, Bani Israil tak memedulikannya. Mereka tetap ngotot dan memaksakan diri untuk membuat patung tersebut.Berbeda dengan penjelasan Alquran, dalam Perjanjian Lama, Nabi Harun ‘alaihissalam justru menjadi penyebab Bani Israil membuat patung tersebut. Berikut kutipan dari Perjanjian Lama itu.

”Ketika bangsa itu melihat bahwa Musa mengundur-undurkan waktu untuk turun dari gunung itu, berkumpullah mereka mengerumuni Harun dan berkata padanya, ”Mari, buatkanlah untuk kami Allah yang akan berjalan di depan kami. Sebab, Musa ini adalah orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir. Kami tidak tahu apa yang telah terjadinya dengan dia. ”

Lalu, berkatalah Harun kepada mereka, ”Tanggalkanlah anting-anting emas yang ada pada telinga istrimu, anakmu laki-laki dan perempuan, dan bawalah semuanya kepadaku.” Seluruh bangsa itu pun menanggalkan anting-anting emas yang ada pada telinga mereka dan membawanya kepada Harun. Harun menerimanya dari tangan mereka, lalu dibentuk dengan pahat, dan dibuatlah anak lembu tuangan. Kemudian, berkatalah mereka, ”Hai, Bani Israil, inilah Allahmu yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir.” (Keluaran Pasal 32 ayat 1-4).

Menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul , pernyataan dalam Perjanjian Lama ini sangat jelas telah menuduh Nabi Harun ‘alaihissalam terlibat dalam perbuatan sesat Bani Israil itu. Sebaliknya, dalam Alquran, justru Allah membebaskan Nabi Harun dari tuduhan tersebut.

Sementara itu, Dr Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, dalam Shahih Qashashin Nabawi atau Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa (terjemahan Izzudin Karimi, Lc, Pustaka Yassir, 2008: hlm 134-137), mengutip sebuah hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak dari Ali.

”Ketika Musa bersegera kepada Tuhannya, Samiri mengumpulkan perhiasan semampunya: perhiasan Bani Israil. Dia mencetaknya menjadi anak sapi, kemudian dia memasukkan segenggam (dari jejak rasul) ke dalam perutnya. Ternyata, ia menjadi anak sapi yang bersuara. Maka, Samiri berkata kepada mereka, “Ini adalah Tuhan kalian dan Tuhan Musa.

” Harun berkata kepada mereka, ”Wahai kaum, bukankah Tuhan kalian telah memberi janji baik kepada kalian?” Ketika Musa kembali kepada Bani Israil yang telah disesatkan oleh Samiri, Musa memegang kepala saudaranya. Maka, Harun berkata apa yang dikatakan Musa kepada Samiri, ”Apa yang membuatmu melakukan ini?” Samiri menjawab, ”Aku mengambil segenggam dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya. Demikianlah nafsuku membujukku.

” Lalu, Musa mendatangi anak sapi itu. Dia meletakkan serutan dan menyerutnya di tepi sungai. Maka, tidak seorang pun yang menyembah anak sapi meminum dari air itu, kecuali wajahnya akan menguning seperti emas. Mereka berkata kepada Musa, ”Bagaimana taubat kami?” Musa menjawab, ”Sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain.” Lalu, mereka mengambil pisau. Maka, mulailah seorang membunuh bapaknya dan saudaranya tanpa peduli hingga yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu. Lalu, Allah memberi wahyu kepada Musa, ”Perintahkan mereka agar berhenti. Aku telah mengampuni yang terbunuh dan memaafkan yang hidup.

” Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti di mana keberadaan patung anak lembu yang dibuat oleh Samiri tersebut. Namun, di sebuah bukit di Sinai (Mesir), terdapat sebuah patung berupa anak lembu yang dipahat. Patung anak lembu pahatan ini lokasinya berdekatan dengan bukit Musa. sya/berbagai sumber

Paganisme Mesir Kuno

Bani Israil sebenarnya adalah penganut agama monoteistik (satu Tuhan), yaitu Allah Subhana Wa Ta’ala. Mereka adalah keturunan dari Ibrahim, Ishak, Ya’kub, Yusuf, hingga zaman Musa dan Harun Alaihimussalam.

Menurut Harun Yahya dalam situsnya, perbuatan mereka (Bani Israil) yang menyimpang dari ajaran monoteistik ini karena terpengaruh oleh kaum pagan yang hidup bersama mereka. ”Bani Israil lalu meniru pola hidup, perilaku, dan perbuatan orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Dan, mereka menggantikan agama yang dipilihkan bagi mereka oleh Allah dengan penyembahan berhala,” tulis Harun Yahya.

Dalam catatan sejarah, sekte pagan yang memengaruhi Bani Israil terdapat di Mesir Kuno. Sebuah bukti penting yang mendukung kesimpulan ini adalah patung anak sapi emas yang disembah Bani Israil saat Musa berada di Gunung Sinai itu sebenarnya adalah tiruan dari berhala Mesir, yaitu Hathor dan Aphis.

Seorang penulis Kristen, Richard Rives, dalam bukunya Too Long in the Sun , menulis, ”Hathor dan Aphis adalah dewa-dewa sapi betina dan jantan bangsa Mesir yang merupakan lambang dari penyembahan matahari. Penyembahan mereka hanyalah satu tahapan dalam sejarah pemujaan matahari oleh bangsa Mesir. Anak sapi emas di Gunung Sinai adalah bukti yang lebih dari cukup untuk mengetahui bahwa pesta yang dilakukan berhubungan dengan penyembahan matahari.” (Richard Rives, Too Long in the Sun, Partakers Pub, 1996: 130-31).

Ditambahkan Harun Yahya, pengaruh agama pagan bangsa Mesir terhadap Bani Israil terjadi dalam banyak tahapan yang berbeda. Begitu mereka bertemu dengan kaum pagan, kecenderungan ke arah kepercayaan ini muncul.

Lihatlah ungkapan Bani Israil. Mereka berkata, ”Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka memunyai beberapa tuhan (berhala).” (QS Al-A’raaf: 138). ”Hai, Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” (Al Baqarah: 55).

Sikap mereka ini menunjukkan bahwa Bani Israil memiliki kecenderungan untuk menyembah benda nyata yang dapat mereka lihat, sebagaimana yang terdapat pada agama pagan bangsa Mesir. sya

Pengkhianatan Samiri

Sebagaimana diketahui, Samiri adalah salah seorang pengikut Nabi Musa AS yang akhirnya melakukan pengkhianatan. Pengkhianatan Samiri ini juga sekaligus sebagai ujian terhadap keimanan umat Nabi Musa AS.

Dalam surah Thaha ayat 85-91 dan 95-98, diceritakan secara lengkap tentang perbuatan yang dilakukan Samiri.”Maka, sesungguhnya, Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.

” Kemudian, Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa, “Hai, kaumku, bukankah Tuhanmu telah berjanji kepadamu suatu janji yang baik? Maka, apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?

” Mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu. Maka, kami telah melemparkannya dan demikian pula Samiri melemparkannya.

” Kemudian, Samiri mengeluarkan anak lembu yang bertubuh dan bersuara (dari lubang itu) untuk mereka. Maka, mereka berkata, “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.”Maka, apakah mereka tidak memerhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka dan tidak dapat memberi kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan?

Sesungguhnya, Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya, “Hai, kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah. Maka, ikutilah aku dan taatilah perintahku.

” Mereka menjawab, “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini hingga Musa kembali kepada kami.” (QS 20: 85-91).Lalu, pada ayat 95-98, dijelaskan tentang kemarahan Musa pada Samiri.Musa berkata, ”Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian), Samiri?

” Samiri menjawab, ”Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya. Maka, aku ambil segenggam dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya. Demikianlah nafsuku membujukku.”Musa berkata, ”Pergilah kamu. Maka, sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat mengatakan, ‘Janganlah menyentuh aku).

’ Sesungguhnya, bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya, kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).”Sesungguhnya, Tuhanmu hanyalah Allah yang tidak ada tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” (QS 20: 95-98).

sya/kem Diambil dari Republika http://republika.co.id/berita/52068/Samiri_dan_Patung_Anak_Lembu

Read Full Post »

The Opening

 sky

1).   In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful

2).   Praise be to Allah, Lord of  the Worlds

3).   The Beneficent, the Merciful

4).   Owner of the Day of Judgement

5).   Thee (alone) we worship;  Thee (alone) we ask for help

6).   Show us the straight path

7).   The path of those whom Thou hast favoured;  Not (the path) of those

        who earn Thine anger nor of those who go astray

Read Full Post »

 

amanah

Beberapa waktu lalu, hampir setiap hari di layar kaca kita menyaksikan seorang politisi yang mengumandangkan jargon “Hidup adalah PERBUATAN”. Sekilas nampaknya itu adalah suatu pesan yang memiliki makna yang dalam.Tambahan lagi, bentuk visualisasinya yang seakan menguatkan jargon tersebut. Aku mencoba membayangkan betapa besar biaya yang dia keluarkan untuk mem-promosikan jargon tersebut kepada masyarakat Indonesia (media iklan TV kan mahal). Maklum saja, jargon tersebut belum pernah terdengar sebelumnya, dan nampaknya sang politisi berupaya untuk memperkenalkan jargon tersebut ke tengah masyarakat Indonesia secara instant , dengan harapan upaya yang massive tersebut akan meningkatkan citra diri dan partai nya.

Namun demikian, kalau kita amati secara lebih dalam, upaya kampanye jargon tersebut nampaknya kurang memberikan hasil yang diharapkan karena terbukti jargon tersebut tidak berumur panjang . Mungkin karena memang sang politisi yang kurang begitu dikenal sebelumnya sebagai politisi dibanding para politisi senior lainnya.

Menurutku juga  nampaknya jargon Hidup adalah Perbuatan adalah kurang trengginas (paling tidak dalam pandangan ku). Orang tentu akan bertanya, perbuatan apa yang dimaksud ? Sebab kata “Perbuatan” bisa memiliki banyak tafsiran, tergantung cara pandang dari orang yang menafsirkannya. Perbuatan juga bisa berarti perbuatan yang baik (mungkin yang dituju oleh sang politisi adalah perbuatan yang ini), bisa berarti perbuatan yang buruk, atau perbuatan yang biasa-biasa saja. Singkatnya, kata perbuatan memiliki konotasi yang beragam, ia bisa disandingkan dengan kata ”baik” maupun dengan kata ”buruk” atau ”jahat”.

Aku sendiri punya pilihan terhadap sebuah jargon adalah ”Hidup adalah Amanah”.

Yaaa… hidup adalah sebuah amanah yang diberikan oleh Sang Maha Agung Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia, tanpa kecuali.

Marilah coba kita buka kitab suci Al-Qur’an kita. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30

 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah 30)

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa Allah lah yang berkehendak untuk menciptakan khalifah di bumi. Walaupun ketika Allah menyampaikan kepada para malaikat bahwa DIA akan menciptakan khalifah dii bumi ada keraguan dari para malaikat yang khawatir bahwa (manusia) akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Namun Allah mengatakan kepada para malaikat, ”Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Penciptaan khalifah Allah di bumi tentunya bukan suatu yang tanpa tujuan. Marilah kita buka lagi kitab Al-Qur’an surat adz-Dzaariyaat 56

 Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzaariyaat 56)

Jelas, bahwa ada amanah yang diemban manusia di bumi, yaitu Mengabdi kepada Allah Azza wa Jalla. Amanah sebagai khalifah di bumi inilah yang harus dipertanggung-jawabkan kelak di hadapan Sang Khaliq di yaumil Hisab. Apakah kita termasuk jenis manusia yang mengemban amanah dengan baik atau sebaliknya yaitu khianat terhadap amanah yang telah diberikan oleh Allah.

Mari kita tengok surat Al-Qiyaamah 36 di bawah

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? “(Al-Qiyaamaah 36)

Jadi, Hidup adalah Amanah memiliki arti yang sangat mulia, karena mendasarkan pemahaman kepada misi apa yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Tiada arti kontradiktif tentang amanah, kata itu selalu ber-konotasi positif.

Dari beberapa ayat Al-Qur’an saja kita sudah mengetahui bahwa hidup kita (manusia) di bumi ini adalah suatu amanah yang telah diberikan oleh Allah. Amanah yang sangat mulia yaitu untuk menjadi khalifatul fiil ardh’. Yang kelak akan dipertanggung-jawabkan kepada Sang Khaliq, Allahu Rabbul ”alamiin…

Semoga kita semua menyadari posisi kita, sehingga insya Allah amanah yang telah diberikan oleh Allah dapat kita amalkan dengan baik, dan kita senantiasa bermohon kepada-Nya, agar kita termasuk orang-orang yang mengemban amanah dengan baik. Sehingga kita termausk golongan manusia yang bisa meraih kemenangan yang nyata, yaitu Al-Jannah. Amin…….

Hidup adalah AMANAH ……………

Wassalam,

Anto_medan

Read Full Post »

 sujud

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

 

[23:1] Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

[23:2] (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,

[23:3] dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,

[23:4] dan orang-orang yang menunaikan zakat,

[23:5] dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,

[23:6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki  maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

[23:7] Barangsiapa mencari yang di balik itu  maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

[23:8] Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.

[23:9] dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.

[23:10] Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,

[23:11] (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya

Beberapa hari lalu, ketika aku sedang mengikuti shalat Shubuh berjamaah di masjid di dekat rumah, Sang Imam membaca Surat Al-Mu’minun di rakaat pertama. Surat ke-23 dari Al-Qur’an itu dibaca dengan penuh perasaan oleh Sang Imam, dengan bacaan yang penuh tartil. Serasa sejuta anak panah menghunjam kalbu lantaran bacaan yang dilantunkan oleh Sang imam. Tanpa terasa ada setitik air meleleh dari mataku, entah mengapa terasa begitu tersentuhnya aku dengan bacaan surat Al-Mu’minun ini. Tanpa terasa dalam sholat aku berkaca diri, sudahkah aku menjadi sosok seorang mu’minun seperti yang digambarkan Allah pada surat tersebut.

Ya Allah Ya Rabbal ‘Alamiin, hamba merasa sangat jauh dari sosok mukminun yang Engkau gambarkan dalam surat tersebut ya Allah….

Dapatkah hamba menjadi hamba Mu yang akan mewarisi Surga Firdaus Mu ?.

Sementara dosa-dosa sudah terlanjur terjadi…. Ya Allah, hanya dengan satu keyakinanku bahwa Engkaulah Yang Maha Pemaaf ya “Affuw, Engkaulah Yang Maha Pengampun dosa ya Ghaffur, maka hamba menjadi tenang. Ya Allah semoga Engkau mengampuni dosa-dosa hamba Mu yang lemah ini……………sekiranya Engkau tidak mengampuni hamba, sesungguhnya hamba termasuk orang-orang yang merugi….

 

Wassalam,

Anto_Medan

Read Full Post »

 

River

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Dalam Kitab Shahih Muslim Bab 84 : Basmallah terdapat riwayat shahih tentang turunnya Surat Al-Kautsar.

Diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu., beliau berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berada di antara kami. Tiba-tiba beliau memejamkan mata (seperti orang mengantuk). Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum, lalu kami bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang menyebabkan engkau tertawa?” Beliau menjawab, “Tadi telah turun satu surah kepadaku.Kemudian belaiu membaca “Bismillahirrahmaanirraahiim, Inna a’thainaa kal kautsar. Fashalli lirabbika wanhar. Inna syaani-aka huwal abtar. “Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami memberikan kepadamu Al-Kautsar. Maka dirikanlah shalat karena Tuhan mu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu itulah yang terputus dari rahmat Allah.”

Kemudian beliau bertanya, “Tahukah kamu apakah al-Kautsar itu?” Kami menjawab, “Yang lebih tahu adalah Allah dan Rasul–Nya. Beliau bersabda, “Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang dijanjikan oleh Tuhan-ku kepadaku yang berisi kenikmatan yang banyak sekali. Itulah telaga yang akan didatangi oleh umatku pada hari Kiamat, yang bejananya sebanyak hitungan bintang. Kemudian ada umatku yang dilarang mendekati al-Kautsar, lalu aku katakan,”Ya Tuhan! Sesungguhnya dia adalah umatku?” Maka Allah menjawab, “Kamu tidak tahu bahwa mereka itu telah membuat bid’ah (ajaran) baru sepeninggalmu.” (Muslim 2/12)

 

Wassalam,

Anto-Medan

 

Dikutip dari Kitab Ringkasan Shahih Muslim Syaikh M Nashiruddin Al Albani (Gema Insani Press)

Read Full Post »

Berjuang Mengemban Amanah

“Hai orang-orang beriman, janganlahkalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad saw.) dan janganlah kalian mengingkari amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kalian mengetahui” (Q.S. Al-Anfaal [8]:27).

Kita semua akan sangat kagum dan terharu mendengar kisah bagaimana seorang nakhoda kapal yang sedang tenggelam berupaya sekuat tenaga menyelamatkan para penumpangnya dan dia tidak mau meninggalkan kapal itu sebelum seluruh penumpangnya selamat.

Kita pun akan terkesan mengenang perjuangan seorang ibu yang anaknya bandel hingga harus dipenjara. Namun, dia tetap berjuang agar sang anak tak putus asa. Dia terus membangun harapan bahwa hari esok, semua akan menjadi lebih baik. Perbuatan buruk sang anak tentu sangat mencoreng kehormatan orang tuanya. Akan tetapi, semua itu dipikul dengan sabar sebagai bentuk tanggung jawab orang tua. Seburuk apa pun kelakuan anak, mau tidak mau dia tetap darah dagingnya sendiri yang wajib dicucuri kasih sayang. Atau, boleh jadi kenakalan anak itu bermula justru dari kelalaiannya sendiri dalam mendidik anak-anaknya.

Banyak kisah yang membuat kita berdecak kagum yang bertutur tentang  pengorbanan seseorang yang bertanggung jawab, walaupun untuk itu dia harus mempertaruhkan nyawa yang hanya satu-satunya yang ia miliki. Pada saat yang sama, kita pun akan sama-sama merasa mual dan dongkol ketika mendengar orang-orang yang tak bertanggung jawab. Begitu rendah dan menjijikkannya sikap tidak bertanggung jawab itu. Seorang laki-laki secara tak bertanggung jawab merusak kegadisan wanita. Seorang suami berselingkuh dan menyia-nyiakan anak istrinya. Seorang ibu menelantarkan bahkan membunuh bayi yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. Seorang prajurit secara pengecut
meninggalkan medan tempur.

Pemimpin jahat tidak bertanggung jawab atas rakyatnya. Dia bermegah-megah dan berleha-leha ketika rakyatnya mengerang kelaparan. Seorang guru tak bertanggung jawab, mengabaikan tugas-nya mendidik generasi muda.
Seorang pedagang licik mencampur barang baik dengan barang buruk semata hanya karena ingin meraup keuntungan setinggi-tingginya. Termasuk yang tak kalah hina-dinanya adalah, seorang anak yang tak bertanggung jawab kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah membesarkannya dari kecil.

Kita harus mengevaluasi diri, sampai sejauh mana kesadaran kita memikul amanah yang diembankan di pundak kita. Sejauh mana kita telah gigih mempertanggungjawab kan semua itu? Banyak tanggung jawab yang sebenarnya harus kita tunaikan. Sebagai manusia, kita perlu bertanya, apakah kita berperilaku dan bermartabat layaknya manusia, atau kita justru berjasad manusia namun berperilaku hewan? Sepanjang hari hanya sibuk memuaskan nafsu syahwat, keserakahan, kebuasan, kelicikan dan aneka perilaku lain layaknya tingkah binatang.

Sebagai Muslim kita wajib bertanya, apakah kita benar-benar menjaga kehormatan selaku seorang Islam, ataukah perilaku kita malah mencoreng kemuliaan Islam? Sebagai orang tua, kita perlu meraba hati, jangan-jangan selama ini kita tidak serius mendidik dan memberi suri teladan sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berakhlak buruk. Bisa jadi kitalah yang menjerumuskan anak-anak itu, bukan perilaku mereka sendiri.

Sebagai warga masyarakat, kita perlu merenung kembali, jangan-jangan kita ini termasuk “sampah masyarakat.” Jangan menganggap sampah masyarakat itu orang miskin. Orang kaya, bergelar, berkedudukan, berkuasa, namun kalau kelakuannya buruk, angkuh, sok pamer dan tidak bermanfaat sedikit pun, dia bisa juga disebut sampah masyarakat! Orang berada yang tak peduli kepada orang miskin dan justru mengeksploitasi keringat orang miskin, maka dialah sampah masyarakat yang paling busuk.

Di atas hanyalah sebagian contoh dari tanggung jawab yang bisa kita renungkan. Masih banyak aneka tanggung jawab lain yang mesti kita pikul dalam kehidupan sehari-hari. Maka mulailah kita bangun akhlak kita dengan bertanggung jawab terhadap amanah-amanah, sekalipun kecil nilainya.

Rawatlah tanggung jawab penampilan kita. Bersikaplah manis, jangan sampai wajah kita tidak terkendali, selalu cemberut dan merusak kehangatan suasana. Bertanggung jawablah terhadap kata-kata yang kita keluarkan. Jangan bicara kecuali yang benar dan manfaat.

Bertanggung jawablah terhadap kebersihan lingkungan.
Jangan sekali-kali membuang sampah sembarangan. Mungkin kita bersih, tapi orang lain jadi terkotori. Membuang sampah sembarangan bisa dikatakan sebagai salah satu perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Bertanggungjawablah selama di perjalanan. Jangan menyerobot, tak mau antre, dan selalu berbuat bising di jalan. Nikmati hidup tertib sebagai cerminan sikap tanggungjawab kita. Bertanggung jawablah atas keamanan. Jangan sampai merugikan dan mencelakakan orang lain. Aturlah sikap dan perilaku kita sehingga orang lain merasa aman dan nyaman dengan tingkah laku kita.

Bertanggung jawablah dalam hal keuangan. Pastikan tidak ada hak orang lain yang ada pada diri kita yang terambil secara yang tidak halal. Hindari perilaku mark up, suap-menyuap, korupsi, mengambil kembalian tanpa permisi, melalaikan utang dan perilaku-perilaku curang lain.
Pastikan tidak ada harta haram pada diri kita. Dengan perilaku ini, insya Allah,
kita akan sangat bahagia, terhormat, dan akan dicukupi rezeki oleh Allah SWT.

Bertanggungjawablah bila diberi amanah kedudukan dan kekuasaan dengan berjuang serius memajukan kesejahteraan lahir batin seluruh karyawan, memajukan perusahaan dan menguntungkan semua pihak. Dan jangan
sekali-kali secara curang mengorbankan amanah untuk kepentingan diri pribadi.
Itu adalah ciri khas orang curang yang akan gagal kariernya.

Dan bertanggung jawablah bila kita melakukan kesalahan.
Seberat apa pun hukuman dunia yang harus dipikul karena kesalahan itu, masihlah lebih ringan dibandingkan hukuman berupa siksa Allah yang perihnya tiada terlukiskan oleh gambaran apa pun. Yakinlah, manusia pada umumnya akan memaafkan bahkan simpati kepada orang yang pernah berbuat salah, lalu sadar, bertobat dan berusaha mempertanggungjawab kan kesalahannya. Mungkin saja tubuhnya menghadapi hukuman, namun Allah dengan kemurahan-Nya akan mengampuni dan memulihkan nama baiknya di dunia ini maupun di akhirat kelak.

 

Waallahu a’lam

sumber : eramuslim.com

Read Full Post »

Maret 15, 2009 at 3:00 am 

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kami katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini para pemuda dapat sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.

Wahai Pemuda, Hidup Di Dunia Hanyalah Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda, كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ “Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)

Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia. Ath Thobiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224) Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita mengenai kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan dan hadits ini mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholih. (Lihat Fathul Qowil Matin)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا “Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu pengembara tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi) ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita, ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ “Dunia itu akan ditinggalkan di belakang. Sedangkan akhirat akan berada di hadapan kita. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)

Manfaatkanlah Waktu Muda, Jangan Disia-siakan Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Ambillah lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.”(HR. Al Hakim dalam Al  Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.” Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.” Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.” Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: ”Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.” Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang berbuat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”

Al Munawi mengatakan, فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا “Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul rasakan setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)

Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya, jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Apabila engkau berada pada sore hari, janganlah menunggu waktu pagi. Apabila engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Ambillah masa sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no. 6416)

Perkataan Ibnu ‘Umar di atas mendorong kita agar selalu memikirkan bahwa kematian akan senantiasa menghampiri kita di hadapan mata kita. Oleh karena itu, hendaklah setiap orang mempersiapkan diri untuk beramal sholeh. Hadits ini juga memotivasi kita agar jangan terlalu panjang angan-angan dan jangan tertipu dengan keindahan dunia. “Ambillah masa sehatmu sebelum sakitmu”, maksud perkataan ini adalah dorongan untuk memanfaatkan masa sehat. Seseorang harus betul-betul memanfaatkan masa sehat ini, agar jangan sampai datang waktu sakit yang tidak mungkin seseorang beramal lagi. Begitu pula “hidupmu sebelum datang matimu”, maksud perkataan ini adalah dorongan untuk memanfaatkan masa sehat. Seseorang hendaklah tidak melewatkan umurnya dengan hal yang sia-sia. Karena siapa saja yang mati, amalannya akan terputus, angan-angannya akan terhenti, lalu akan datang penyesalan dan hanya penyesalan.(Syarh Shahih Al Bukhari,  Ibnu Baththol, 10/149)

Orang yang Beramal Di Waktu Muda Akan Bermanfaat Untuk Waktu Tuanya Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95] : 4-6)

Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagiamana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah. “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”. Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal”. Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.

An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka dia akan dicatat sebagaimana dahulu (di waktu muda) dia pernah beramal. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah yang artinya “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, maka mereka tidak akan berhenti dari beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)

Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan. Mintalah juga perlindungan kepada Allah dari usia tua yang jelek sebagaimana do’a yang Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يتعوذ يقول ( اللهم إني أعوذ بك من الكسل وأعوذ بك من الجبن وأعوذ بك من الهرم وأعوذ بك من البخل ) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meminta perlindungan melalui do’a: “Allahumma inni a’udzu bika minal kasl wa a’udzu bika minal jubn, wa a’udzu bika minal harom, wa a’udzu bika minal bukhl [Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari rasa malas, aku meminta perlindungan pada-Mu dari lemahnya hati, aku meminta perlindungan pada-Mu dari usia tua (yang sulit untuk beramal) dan aku meminta perlindungan pada-Mu dari sifat kikir (pelit)]”.” (HR. Bukhari) [Bukhari: 83-Kitab Ad Da’awaat, 41-Bab Meminta Perlindungan dari Umur yang Sulit Untuk Beramal]

 Terakhir, kami nasehatkan agar segenap pemuda selalu mengutamakan akhiratnya daripada dunianya. Jadikanlah duniamu sebagai persiapan (bekal) untuk negeri akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash: 77) Yang dimaksudkan dengan “janganlah melupakan duniamu”, ada 3 pendapat: [1] Beramallah di dunia untuk akhiratmu. (Pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ahli tafsir) [2] Utamakanlah hal yang lebih utama dan tahanlah dirimu dari hal yang tidak bermanfaat. (Pendapat Al Hasan Al Bashri) [3] Cukupkanlah diri dengan yang halal, dan jauhilah perkara yang haram. (Pendapat Qotadah) (Zaadul Maysir, 6/241)

Jadi bukanlah yang dimaksudkan dengan ayat tersebut adalah kita harus menyamakan kepentingan dunia dan akhirat. Bukan sama sekali. Namun yang dimaksudkan adalah hendaknya kita memanfaatkan kesempatan di dunia untuk kehidupan kita di akhirat kelak, sebagaimana hal ini adalah pendapat mayoritas pakar tafsir. Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib, إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88) Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka agar selalu dapat mengenal agamanya.

Alhamdulillahilladz i bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Sabtu Pagi, 17 Rabi’ul Awwal 1430 H

Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat Rabbnya

Muhammad Abduh Tuasikal

Read Full Post »

Older Posts »